Selasa, 30 September 2014

KAJIAN BUDAYA



BATU PAICA BERFUNGSI SEBAGAI TELEPON
DI NISKALA
 Oleh : Ni Kadek Winarsih

Kehidupan masyarakat pada dasarnya dapat dilihat dari berbagai macam aspek, misalnya tingkah laku kehidupan sehari-hari pada satu komunitas kelompok kemasyarakatan. Tingkah laku kehidupan di masing-masing kelompok adalah berbeda-beda yang disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat kelompok itu berada. Kebiasaan atas tingkah laku yang ditunjukan oleh suatu komunitas masyarakat tersebut dinamakan dengan tradisi. Tradisi ini timbul dari kebudayaan yang terdapat dalam kelompok tertentu.
Kebudayaan memiliki banyak aspek. Budaya dapat diartikan sebagai segala hasil cipta, rasa dan karsa manusia untuk membantu kehidupannya. Maka dengan hal ini keberadaan seni yang ada dalam masyarakat termasuk salah satu hasil dari kebudayaan yang tercipta dari kreatifitas rasa karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam pelaksanaan keagamaan agama Hindu, umat senantiasa mengimplementasikannya dalam bentuk seni, sehingga dalam pelaksanaan upacara agama senantiasa dibarengi dengan seni. Dalam bahasa sansekerta “Seni” berasal dari kata “San” yang berarti persembahan dalam upacara agama. Sehingga tidak salah kalau pelaksanaan upacara Agama Hindu terdapat banyak sekali unsur-unsur seni didalam pelaksanaannya, baik yang berupa sesajen, suara (dharma gita), gambelan, dan gerak (Tari, sikap mudra Slinggih), termasuk bangunannya dihasilkan melalui seni. Hal ini menjadikan Seni dan Agama adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena pelaksanaan Ajaran Agama Hindu di lakukan dengan seni.
Budaya berasal dari bahasa sansekerta yakni buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata  budhi yang berarti akal. Jadi Budaya  dapat diartikan sebagai hal-hal yang dilakukan oleh manusia berdasarkan akal. Sampai sekarang budaya tidak pernah lepas dari kehidupan ini. Dan budaya berjalan seiring dengan ritual atau upacara. Begitu juga dengan Bhuana Agung selalu sejalan dengan Bhuana Alit.
Mungkin manusia sudah mengenal namanya seni dan ini sudah diterapkan dalam kehidupan sehari - hari, hal ini sudah menjadi suatu kebutuhan manusia dan sudah terdapat pada diri manusia tersebut, mungkin tanpa disadari alam semesta ini  juga terciptakan dari unsur seni dan Tuhan juga memberikan sifat seni pada makhluk ciptaan-Nya  sehingga seni pun dapat dikaitkan dengan hal spiritual atau religi dalam suatu unsur kebudayaan.
Seni dapat dibagi menjadi beberapa bagian yakni seni tari, seni rupa, seni suara, dan seni musik. Hasil dari seni-seni tersebut sering kali dipergunakan pada saat upacara yang disebut dengan seni sakral. Rasa ingin tahu manusia sampai kepada sesuatu hal yang sakral atau yang dia anggap sakral. Ketika sesuatu itu di luar kemampuannya dan mereka tidak sanggup menembusnya, lalu mereka akan menganggap itu suci, dan mereka anggaplah itu sesuatu yang sakral, namun apabila masih dapat dijangkaunya, dia menganggap sesuatu itu biasa-biasa saja. Kadang kala sakral yang dimaksud diartikan keliru dengan profan. Sakral adalah sesuatu yang keramat dan suci, sedangkan profan adalah sesuatu yang bersifat duniawi yang dijadikan sakral.
Seni sakral terdiri berbagai macam bentuk baik berupa benda maupun berupa kuliner antara lain benda yang terbuat dari kayu, logam, kuliner atau masakan dan batu. Benda-benda tersebut jika akan dijadikan benda sakral maka akan diolah atau dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi sesuatu yang kemudian setelah proses pengolahan itu terselesaikan akan mengalami proses penyucian dengan disertai sarana-sarana pendukung lainnya. Namun selain benda-benda yang sengaja dibuat untuk dijadikan benda sakral, ada pula benda-benda yang tidak dibuat dan ditemukan secara tidak sengaja oleh orang-orang tertentu, namun dipercaya mengandung unsur magis yang disakralkan.
Seperti apa yang terjadi di Desa Pakraman Sangket, Kelurahan Sukasada Kecamatan Sukasada ditemukannya batu paica berfungsi sebagai telepon di niskala.
Paica adalah benda sakral yang ditemukan di suatu tempat secara tidak sengaja oleh orang-orang tertentu serta mempunyai fungsi-fungsi tertentu.
Paica tersebut dapat berupa bermacam-macam jenis diantaranya :
1.             Kayu
2.             Permata
3.             Batu
4.             Logam, dan
5.             Cairan, seperti minyak.
Desa Pakraman Sangket, Kelurahan Sukasada merupakan Desa Adat tertua di Kelurahan Sukasada yang cukup luas, dimana letaknya tidak jauh dari kota dan berada di pinggir jalan utama Denpasar-Singaraja. Desa ini masih ajeg melaksanakan adat dan budaya warisan leluhurnya. Dimana salah satunya adalah sistem kepengurusan yang masih menganut garis keturunan yang dipadukan dengan pengambilan keputusan demokratis. Kelengkapan Desa Pakraman yang bersifat tradisi, sampai saat ini telah dilengkapi dengan instrumen-instrumen modern antara lain: awig-awig sudah disahkan pejabat berwenang, sistem pengambilan keputusan yang jelas, rekruitmen krama desa, sistem pembelajaran secara berjenjang, memiliki sistem pelaporan keuangan modern dan memiliki Lembaga Perkreditan Desa. Serta untuk mengimbangi kemajuan para pengurus, ke sulinggihan, krama desa, sekeha truna-truni yang dinamakan sekeha truna-truni Manik Astagina, Sekeha Gong selalu melakukan latihan melalui kegiatan pasraman maupun melalui pendidikan formal. Sebagian penduduknya berprofesi sebagai penggarap kebun dan petani. Desa Sangket sendiri terdiri dari satu banjar yang terbagi atas dua bagian yakni dangin pura dan dauh pura.
Selain itu desa Pakraman Sangket memiliki pura yang lengkap mulai dari Pura Puseh/Desa, Pura Dalem, Pura Beji atau yang sering disebut oleh masyarakat disekitarnya Pura Mangening dan Pura Bukit Sekar Kencana. Desa ini mempunyai banyak tradisi dan juga diberkahi benda-benda sakral yang cukup banyak dengan fungsi yang berbeda-beda, di mulai yang berbentuk, logam, kayu, permata dan batu.
Yang unik disini adalah benda sakral berupa batu yang berfungsi tidak jauh beda dengan telepon genggam. Mungkin sebagian masyarakat bertanya-tanya akan hal ini, karena seperti yang diketahui bahwa Tuhan atau umat Hindu menyebut-Nya Ida Sang Hyang Widhi tidak perlu hal seperti itu untuk berkomunikasi dengan manifestasi lainnya. Akan tetapi siapa yang bisa menyangkal kalau benda itu benar adanya.
Menurut Jero Mangku Pura Gede Wilis berawal dari salah satu penduduk di desa ini yang bernama Putu Adita atau yang dikenal dengan nama Seong  pergi berkebun dan mencarikan rumput untuk hewan ternaknya, dan seperti biasa ia melewati jalan bersebelahan dengan Pura Bukit Sekar Kencana itu. Tiba-tiba di sela-sela perjalanannya itu ia mendengar sesuatu yang aneh yang menyerupai suara dering telepon. Karna suara yang di dengar itu, Putu Adita berinisiatif untuk mencari sumber suara tersebut. Tepat dibawah pohon besar yang disebut Ganggangan ditemukan sebuah batu yang menimbulkan bunyi yang di dengar itu (nit..nit..nit). Batu paica ini ditemukan ± 1 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 6 Maret 2013 tiga hari sebelum diadakannya mekiis. Sekilas bila dilihat tidak ada yang istimewa dengan batu ini, yang kemudian diambil dan dibawa pulang.
Setelah dibawa pulang, Putu Adita sendiri mengalami trans atau kesurupan yang berkepanjangan selama dua hari berturut-turut, yang kemudian membuat orang tua Putu Adita merasa khawatir dan memutuskan untuk mencari pemangku Pura Bukit Sekar Kencana Gede Wilis. Pada akhirnya orang tua dari Putu Adita memutuskan agar paica itu dibawa oleh Mangku Gede Wilis sebagai pengempon pura dan istrinya.
Di sela-sela perjalanan pulang, suara dering telepon itu pun kembali terdengar oleh Jero Mangku Istri, padahal pada saat itu batu paica itu di bawa oleh Mangku Gede Wilis. Seakan tak percaya Mangku Gede Wilis pun mendekatkan batu paica yang digenggamnya itu ke arah telinganya, dan benar bahwa batu itu memunculkan suara dering telepon.

Sampai sekarang batu paica tersebut dipunut oleh pengempon Pura Bukit Sekar Kencana Mangku Gede Wilis. Terkadang di waktu-waktu tertentu, jika ada keadaan yang tidak beres di sekitar pekarangan rumah Mangku Gede Wilis yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari Pura Dalem dan Setra, paica batu tersebut memunculkan bunyi menyerupai dering telepon, walaupun terkadang diabaikan oleh Mangku Gede Wilis. Entah apa yang terjadi pada saat penulis mengambil gambar, tiba-tiba saja Mangku Gede Wilis mengalami trans dan menangis namun tidak mau mabebaosan sewaktu ditanya, seperti yang terlihat pada gambar diatas.
Konon katanya menurut penuturan Putu Adita penemu pertama batu tersebut, batu paica tersebut berfungsi tidak jauh beda seperti telepon genggam biasanya yang dikenal oleh masyarakat luas di sekala. Hanya saja fungsi batu paica ini lebih mengkhusus yakni berfungsi sebagai alat komunikasi atau dalam hal ini berfungsi untuk menhubungi Aji/ bapak dari Bhatara Ngurang Bukit Sekar Kencana yang berstana di Desa Ambengan, serta batu paica ini sesuai dengan namanya hanya sebuah batu jadi batu ini tidak bisa digunakan untuk mengirim pesan (sms).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar