BATU PAICA BERFUNGSI SEBAGAI TELEPON
DI NISKALA
Oleh : Ni Kadek Winarsih
Kehidupan masyarakat pada dasarnya dapat
dilihat dari berbagai macam aspek, misalnya tingkah laku kehidupan sehari-hari
pada satu komunitas kelompok kemasyarakatan. Tingkah laku kehidupan di
masing-masing kelompok adalah berbeda-beda yang disesuaikan dengan keadaan
lingkungan tempat kelompok itu berada. Kebiasaan atas tingkah laku yang
ditunjukan oleh suatu komunitas masyarakat tersebut dinamakan dengan tradisi.
Tradisi ini timbul dari kebudayaan yang terdapat dalam kelompok tertentu.
Kebudayaan memiliki banyak aspek. Budaya
dapat diartikan sebagai segala hasil cipta, rasa dan karsa manusia untuk
membantu kehidupannya. Maka dengan hal ini keberadaan seni yang ada dalam masyarakat termasuk salah satu hasil dari kebudayaan yang tercipta dari
kreatifitas rasa karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam
pelaksanaan keagamaan agama Hindu, umat senantiasa mengimplementasikannya dalam
bentuk seni, sehingga dalam pelaksanaan upacara agama senantiasa dibarengi
dengan seni. Dalam bahasa sansekerta “Seni” berasal dari kata “San” yang
berarti persembahan dalam upacara agama. Sehingga tidak salah kalau pelaksanaan
upacara Agama Hindu terdapat banyak sekali unsur-unsur seni didalam pelaksanaannya,
baik yang berupa sesajen, suara (dharma gita), gambelan, dan gerak (Tari, sikap
mudra Slinggih), termasuk bangunannya
dihasilkan melalui seni. Hal ini menjadikan Seni dan Agama adalah
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena pelaksanaan Ajaran Agama
Hindu di lakukan dengan seni.
Budaya
berasal dari bahasa sansekerta
yakni buddhayah yang merupakan
bentuk jamak dari kata budhi yang berarti akal. Jadi Budaya dapat diartikan sebagai hal-hal yang dilakukan
oleh manusia berdasarkan akal. Sampai sekarang budaya tidak pernah lepas dari
kehidupan ini. Dan budaya berjalan seiring dengan ritual atau upacara. Begitu
juga dengan Bhuana Agung selalu
sejalan dengan Bhuana Alit.
Mungkin manusia
sudah mengenal namanya seni dan ini sudah diterapkan dalam kehidupan sehari -
hari, hal ini sudah menjadi suatu kebutuhan manusia dan sudah terdapat pada
diri manusia tersebut, mungkin tanpa disadari alam semesta ini juga
terciptakan dari unsur seni dan Tuhan juga memberikan sifat seni pada makhluk
ciptaan-Nya sehingga seni pun dapat dikaitkan dengan hal spiritual atau
religi dalam suatu unsur kebudayaan.
Seni dapat dibagi menjadi beberapa bagian yakni seni tari, seni rupa, seni
suara, dan seni musik. Hasil dari seni-seni tersebut sering kali dipergunakan
pada saat upacara yang disebut dengan seni
sakral. Rasa ingin tahu manusia sampai kepada
sesuatu hal yang sakral atau yang dia anggap sakral. Ketika sesuatu itu di luar
kemampuannya dan mereka tidak sanggup menembusnya, lalu mereka akan menganggap itu suci, dan mereka anggaplah itu
sesuatu yang sakral, namun apabila masih dapat dijangkaunya, dia menganggap
sesuatu itu biasa-biasa saja. Kadang kala sakral yang
dimaksud diartikan keliru dengan profan. Sakral
adalah sesuatu yang keramat dan suci, sedangkan profan adalah sesuatu yang bersifat duniawi yang dijadikan sakral.
Seni sakral terdiri berbagai macam bentuk baik berupa benda maupun berupa
kuliner antara lain benda yang terbuat dari kayu, logam, kuliner atau masakan
dan batu. Benda-benda tersebut jika akan dijadikan benda sakral maka akan
diolah atau dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi sesuatu yang kemudian
setelah proses pengolahan itu terselesaikan akan mengalami proses penyucian
dengan disertai sarana-sarana pendukung lainnya. Namun selain benda-benda yang
sengaja dibuat untuk dijadikan benda sakral, ada pula benda-benda yang tidak
dibuat dan ditemukan secara tidak sengaja oleh orang-orang tertentu, namun
dipercaya mengandung unsur magis yang disakralkan.
Seperti apa yang terjadi di Desa Pakraman Sangket, Kelurahan Sukasada
Kecamatan Sukasada ditemukannya batu paica berfungsi sebagai telepon di niskala.
Paica adalah benda sakral yang ditemukan di suatu tempat secara tidak
sengaja oleh orang-orang tertentu serta mempunyai fungsi-fungsi tertentu.
Paica tersebut dapat
berupa bermacam-macam jenis diantaranya :
1.
Kayu
2.
Permata
3.
Batu
4.
Logam, dan
5.
Cairan, seperti minyak.
Desa
Pakraman Sangket, Kelurahan Sukasada merupakan Desa Adat tertua di Kelurahan
Sukasada yang cukup luas, dimana letaknya tidak
jauh dari kota dan
berada di pinggir jalan utama Denpasar-Singaraja. Desa ini masih ajeg
melaksanakan adat dan budaya warisan leluhurnya. Dimana salah satunya adalah
sistem kepengurusan yang masih menganut garis keturunan yang dipadukan dengan
pengambilan keputusan demokratis. Kelengkapan Desa Pakraman yang bersifat
tradisi, sampai saat ini telah dilengkapi dengan instrumen-instrumen modern antara
lain: awig-awig sudah disahkan pejabat berwenang, sistem pengambilan keputusan
yang jelas, rekruitmen krama desa, sistem pembelajaran secara berjenjang,
memiliki sistem pelaporan keuangan modern dan memiliki Lembaga Perkreditan
Desa. Serta untuk mengimbangi kemajuan para pengurus, ke sulinggihan, krama
desa, sekeha truna-truni yang dinamakan sekeha
truna-truni Manik
Astagina, Sekeha Gong selalu melakukan latihan melalui kegiatan pasraman maupun
melalui pendidikan formal. Sebagian penduduknya
berprofesi sebagai penggarap kebun dan petani. Desa Sangket sendiri terdiri
dari satu banjar yang terbagi atas dua bagian yakni dangin pura dan dauh pura.
Selain itu desa Pakraman Sangket
memiliki pura yang lengkap mulai dari Pura Puseh/Desa, Pura Dalem, Pura Beji
atau yang sering disebut oleh masyarakat disekitarnya Pura Mangening dan Pura
Bukit Sekar Kencana. Desa ini mempunyai banyak tradisi dan juga diberkahi
benda-benda sakral yang cukup banyak dengan fungsi yang berbeda-beda, di mulai
yang berbentuk, logam, kayu, permata dan batu.
Yang unik disini adalah benda
sakral berupa batu yang berfungsi tidak jauh beda dengan telepon genggam.
Mungkin sebagian masyarakat bertanya-tanya akan hal ini, karena seperti yang
diketahui bahwa Tuhan atau umat Hindu menyebut-Nya Ida Sang Hyang Widhi tidak
perlu hal seperti itu untuk berkomunikasi dengan manifestasi lainnya. Akan
tetapi siapa yang bisa menyangkal kalau benda itu benar adanya.
Menurut Jero Mangku Pura Gede Wilis berawal dari salah satu
penduduk di desa ini yang bernama Putu
Adita atau yang dikenal dengan nama Seong pergi berkebun dan mencarikan rumput untuk
hewan ternaknya, dan seperti biasa ia melewati jalan bersebelahan dengan Pura
Bukit Sekar Kencana itu. Tiba-tiba di sela-sela perjalanannya itu ia mendengar
sesuatu yang aneh yang menyerupai suara dering telepon. Karna suara yang di
dengar itu, Putu Adita berinisiatif untuk mencari sumber suara tersebut. Tepat
dibawah pohon besar yang disebut Ganggangan ditemukan sebuah batu yang
menimbulkan bunyi yang di dengar itu (nit..nit..nit). Batu paica ini ditemukan
± 1 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 6 Maret 2013 tiga hari sebelum
diadakannya mekiis. Sekilas bila dilihat tidak ada yang istimewa dengan batu
ini, yang kemudian diambil dan dibawa pulang.
Setelah dibawa pulang, Putu Adita
sendiri mengalami trans atau
kesurupan yang berkepanjangan selama dua hari berturut-turut, yang kemudian
membuat orang tua Putu Adita merasa khawatir dan memutuskan untuk mencari
pemangku Pura Bukit Sekar Kencana Gede Wilis. Pada akhirnya orang tua dari Putu
Adita memutuskan agar paica itu dibawa oleh Mangku Gede Wilis sebagai pengempon
pura dan istrinya.
Di sela-sela perjalanan pulang,
suara dering telepon itu pun kembali terdengar oleh Jero Mangku Istri, padahal
pada saat itu batu paica itu di bawa oleh Mangku Gede Wilis. Seakan tak percaya
Mangku Gede Wilis pun mendekatkan batu paica yang digenggamnya itu ke arah telinganya,
dan benar bahwa batu itu memunculkan suara dering telepon.
Sampai sekarang batu paica tersebut
dipunut oleh pengempon Pura Bukit
Sekar Kencana Mangku Gede Wilis. Terkadang di waktu-waktu tertentu, jika ada
keadaan yang tidak beres di sekitar pekarangan rumah Mangku Gede Wilis yang
kebetulan rumahnya tidak jauh dari Pura Dalem dan Setra, paica batu tersebut
memunculkan bunyi menyerupai dering telepon, walaupun terkadang diabaikan oleh
Mangku Gede Wilis. Entah apa yang terjadi pada saat penulis mengambil gambar,
tiba-tiba saja Mangku Gede Wilis mengalami trans dan menangis namun tidak mau
mabebaosan sewaktu ditanya, seperti yang terlihat pada gambar diatas.
Konon katanya menurut penuturan
Putu Adita penemu pertama batu tersebut, batu paica tersebut berfungsi tidak
jauh beda seperti telepon genggam biasanya yang dikenal oleh masyarakat luas di
sekala. Hanya saja fungsi batu paica ini lebih mengkhusus yakni berfungsi
sebagai alat komunikasi atau dalam hal ini berfungsi untuk menhubungi Aji/
bapak dari Bhatara Ngurang Bukit Sekar Kencana yang berstana di Desa Ambengan,
serta batu paica ini sesuai dengan namanya hanya sebuah batu jadi batu ini
tidak bisa digunakan untuk mengirim pesan (sms).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar